Bagian Pertama:

Perjalananku menjadi ‘guru’ dimulai pertengahan tahun 2021. Ini adalah perjalanan yang cukup mencengangkan, bahkan bagi diriku sendiri. Mungkin keinginan menjadi seorang guru dalam diriku hanya sepuluh persen saja. Sisanya adalah sejumlah ketakutan dan kekhawatiran bahwa aku (selalu) merasa tidak cukup layak untuk ‘berdiri’ di depan kelas.

Hari pertama aku masuk kelas, memperkenalkan diri dan menyapa mahasiswa yang ada di kelas, rasanya sulit dijelaskan dengan kata-kata. Meskipun sebelum memulai kelas, perutku terasa sakit dan bolak-balik beberapa kali ke kamar mandi. Tetapi begitu kelas selesai dan aku kembali ke ruang kantor, aku mengatakan “Duh, aku beneran suka profesi ini!” Gubrak!

Sekarang, setelah hampir satu tahun menjalani profesi menjadi guru ini, aku baru memberanikan diri membuat catatan di sini. Harapanku adalah suatu saat ketika lelah dan jenuh, aku bisa membaca catatan ini lagi dan debar-debar api semangat itu dapat menyala kembali.

Perlu sebuah keberanian diri menulis di laman ini, karena sekarang tanggungjawab di ruang publik semakin memberatkanku. Rasa khawatir dibaca teman-teman seprofesi dan teman-teman mahasiswa juga sedikit mengganggu. Sedikit malu jika tulisan refleksiku atas kegiatan sehari-hari dibaca orang lain. Terutama karena beban mental menyandang profesi ini terasa lebih berat dibanding hal lainnya. Tanggungjawab menjaga ‘lisan’, kualitas, dan konten tulisan membuatku maju-mundur beberapa kali.

Catatan ini ku sandarkan pada pengalaman sehari-hari menjadi guru di salah satu kampus di kota di Jawa Tengah. Aku lebih senang menyebut istilah ‘guru’ ketimbang ‘dosen’. Karena istilah ‘guru’ membuatku tak henti untuk menyadari banyak hal di seputar perjalanan hidupku. Terutama untuk tak henti belajar kehidupan: mengenal diri, kapasitas, kemampuan, berproses bersama, dan pentingnya menghargai diri dan pengalamanku sendiri.

Semoga catatan ini dapat membuat hidup kita lebih berwarna dan menyadari betapa berharganya waktu-waktu yang kita jalani sehari-hari.

Iklan