Sariman (Wonosobo, 27 Desember 1949 – Padang, 15 Oktober 2020)

Ketika keluarga inti kami masih lengkap dan Apa masih bugar. Sekarang Apa dan Uni sudah tiada.

Lelaki itu bernama Sariman. Saya memanggil beliau Apa. Apa menjadi yatim piatu di usia lima tahun. Pernah menghabiskan masa mudanya di panti asuhan, disekolahkan, dan membantu di kantor pos Wonosobo. Papa (Palinggam) yang saat itu mengepalai kantor pos melihat keuletan Apa, menawarkan dirinya sebagai orang tua angkat dan memboyong Apa untuk dibawa ke Sumatra. Keinginan Apa yang besar untuk sekolah membuatnya langsung menerima ajakan tersebut. Meninggalkan Kangmas-Kangmas dan Mbakyu-Mbakyu serta kampung halamannya di Wonosobo. Apa meninggalkan Wonosobo di usia (sekitar) 12 tahun, setelah tamat SD.

Papa (Palinggam) sempat mutasi ke Rengat, Riau sebelum dipindahkan kembali di Padang, Sumatera Barat hingga pensiun dan berpulang ke Rahmatullah. Apa seorang yang pendiam, tak banyak bicara, senang bercanda meski wagu, dan senang makan. Sehingga dengan kakak-adik angkatnya juga tidak bisa terbuka. Meski Apa jelas sekali sangat menyayangi keluarga angkatnya. Waktu kecil, setiap lebaran kami pasti mengunjungi keluarga Papa (Palinggam). Saya hanya ingat masih bertemu dengan Mami (Palinggam), dan sosok Papa (Palinggam) hanya saya kenal dari foto yang dipajang di ruang keluarga Palinggam. Saat itu saya tak pernah mengerti keluarga itu siapa dan bagaimana. Yang saya ingat, Ama (Ibu) juga pernah ikut dengan Papa (Palinggam). Dan oleh karena itulah mereka (Apa dan Ama) dijodohkan oleh kedua orangtua Apa dan Ama.

Sebagai seorang PNS (guru SMP), Apa menularkan semangat sekolah ke anak-anaknya. Meski hidup kami serba kekurangan, Apa menyekolahkan semua anaknya yang enam orang hingga tamat SMA dan sebagian besar lulus Sarjana satu. Hanya dua orang dari kami yang tidak kuliah. Uni, kakak pertama saya memilih bekerja untuk membantu orangtua menguliahkan/menyekolahkan adik-adiknya daripada kuliah. Seorang lagi memang tidak lulus ujian masuk perguruan tinggi, dan memilih bekerja. Semangat akan pendidikan ini juga yang akhirnya membuat saya memantapkan diri untuk kuliah setelah empat tahun bekerja setamat SMA. Rasanya malu dan terngiang terus omongan Apa “Masak gak malu sama Apa yang lulus D3. Kok anaknya cuma tamatan SMA?” Begitu omongan Apa ketika saya ragu untuk ikut SPMB setelah tidak lulus ujian masuk STAN. Dulu, saya juga takut kuliah karena akan membuat ekonomi keluarga kami semakin kacau. Namun, setelah bekerja lama, saya justru meyakinkan diri bisa kuliah tanpa menyusahkan banyak keluarga.

Apa orang yang kaku, pendiam, tak banyak bicara, terlalu ngeyel akan membuat beliau mumtab seketika. Dulu saya tak bisa memahami karakter orangtua, saudara-saudara saya, bahkan karakter saya sendiri. Hingga akhirnya ketika mengambil mata kuliah psikoanalisa, dan pengalaman merantau ke beberapa tempat, saya akhirnya bisa memahami karakter yang membentuk Apa. Dengan usia yang masih belia, Apa menembus belantara dunia dengan orang-orang asing, ranah yang asing, kebudayaan yang begitu berbeda dan harus meyakinkan diri jika ia baik-baik saja. Hingga di hari tuanya dan menutup mata di perantauan. Saya sendiri baru menyadari Apa yang Jawa setelah SMP https://mimpinda.wordpress.com/2017/06/11/kenapa-begitu-sulit-menerima-panggilan-mbak/. Ambivalen yang paling kelihatan dari Apa adalah dari bahasa. Ia tak bisa bahasa Minang, juga sudah tidak fasih bahasa Jawa, akan tetapi logat Apa masih medok.  Melihat kembali kehidupan Apa dengan latar belakang yang seperti itu sangat wajar kiranya jika Apa tak fasih berkomunikasi dengan keluarga sendiri, bahkan untuk bercanda dengan anak-anaknya sendiri seringkali disalahpahami.

Begitu juga halnya dengan pertemanan. Apa tak banyak teman, bagusnya dengan begitu jadi tak banyak musuh. Tetap saja berkali-kali Apa dan keluarga kami ditipu dan disakiti orang. Ia tak pernah membalas. Tak pernah membicarakan kejelekan orang lain. Kebiasaan dari kecilnya mungkin memang menelan semua pil pahit kehidupan seperti halnya ia menelan berbagai obat-obatan sejak lama karena hipertensi dan berbagai penyakit lainnya (Apa pernah operasi ginjal, hernia, jantung koroner, dan diabetes). Diam adalah senjata Apa yang tak pernah bisa saya pahami. Diam bisa saja adalah reaksi pil pahit yang ditelan Apa atas segala rasanya.

Sebagai anak seorang PNS jaman dulu, pekerjaan menjadi PNS adalah trauma bagi saya. Itulah sebabnya saya tak begitu tertarik ikut CPNS dan sejenisnya. Namun, beberapa tahun belakangan saya begitu mensyukuri Apa yang PNS. Di usia ini, sebagai anak rasanya belum bisa berbakti dan membahagiakan orangtua. Bahkan untuk mandiri secara finansial saja rasanya masih terseok-seok. Jangankan menabung, memberi kepada orangtua, mencukupkan pemenuhan sehari-hari dan berusaha tidak meminta/meminjam uang adalah perjuangan. Prinsip saya, jika tak bisa membantu orangtua, minimal jangan menyusahkan pikiran dan materil beliau. Biar di hari tuanya mereka berdua bisa senang, tenang, dan berbahagia.

Tahun 2020 adalah tahun yang benar-benar ambyar buat saya. Setelah sendiri, badai covid datang, dan Apa pergi dengan cepat. Kamis siang sekitar pukul 10.42 wib, Ama menelepon, tetapi saya matikan, dan mengirim sms memberitahukan kalau saya sedang rapat, tak bisa angkat telepon. Biasanya saya tak pernah sms Ama jika teleponnya tak bisa diangkat. Namun, sejak 2020 ini saya takut jika tidak mengangkat telepon Ama. Saya takut jika terlambat mendapat kabar penting. Tak lama, adik-adik mengirin pesan kalau Apa masuk IGD. Setelah rapat, saya sempat mampir sebentar ke kantor seorang teman, hanya beberapa menit terus segera pulang karena perasaan sudah campur aduk. Begitu sampai di kos, saya menelepon Ama dan berusaha untuk tetap tenang. Meski Ama sudah kelihatan sedih dan takut kehilangan.  Ama di rumah, dan adik-adik menemani Apa di Rumah Sakit. Keponakan saya menelepon, menangis dan takut dengan kabar buruk dari dokter “Paru-paru Apa sudah penuh (entah bercak putih atau cairan, tak jelas, ia panik), liver sudah bengkak, mesti tes swab, jika positif langsung diisolasi, dan kemungkinan terburuk, pemakaman dengan protokol covid”. Kami tak berani memberi tahu Ama. Kami cemas dan saya mulai was-was. Di ujung telepon keponakan saya nangis, saya pura-pura biasa saja, dan menenangkannya. Keponakan dan adik mengirim foto Apa yang sedang tidur terbaring dengan segala peralatan medis, infus, oksigen, mesin jantung, dan diselimuti oleh selimut yang saya bawa sebagai oleh-oleh untuk Apa waktu terakhir pulang ke Padang. Biarlah selimut itu yang mewakili kehadiran saya sebagai anak. Sore, sekitar jam empat, Apa dipindahkan ke ruang isolasi jantung untuk penanganan selanjutnya, dokter sudah mengatakan kondisi Apa sudah ‘berat’. Saya divideocall ketika Apa dipindah ke ruang isolasi jantung, dan ia masih saja tidur, saya tak bisa bicara. Videocall mati ketika Apa sudah sampai di depan ruang isolasi. Saya langsung mengirim pesan kepada adik lelaki kami, menanyakan kapan ia pulang ke Padang dari Pekanbaru. Sedang balas membalas pesan itu, Ama nelpon “Nda, jangan terkejut ya, Apa udah pergi duluan. Doain Apa ya, Nak. Ama baru sampai di RS, mau bawa Apa pulang dulu. Udah ya”. Saya hanya bisa jawab “HAH?”

Kamis, pukul 16.33wib, Apa pergi lebih dulu menyusul Uni, kakak pertama kami serta saudara kandung Apa dan orangtua serta orangtua angkatnya. Saya cukup tenang mendengar suara Ama yang masih cukup kuat. Saya hanya memikirkan Teta, kakak kami yang juga tinggal di Jogja. Saya khawatir dia kenapa-kenapa. Pikiran dan fisiknya tak bisa diganduli masalah, terlebih yang berat-berat begini. Dengan kebingungan harus bagaimana, air mata yang terus mengalir, saya segera mengeluarkan motor dan berangkat ke rumah Teta. Sebelum pergi, saya sampaikan kabar ke ibu kos, tangis saya sempat pecah, kemudian saya tahan. Kasian, nanti beliau bingung harus gimana melihat orang nangis. Di jalan, air mata tak bisa berhenti. Kacamata berembun, jalanan tak begitu terlihat. Begitu sampai rumah Teta, saya lega akhirnya ada saudara yang bisa saya peluk, yang bisa saya lihatkan air mata, dan kesedihan. Namun, saya tak sampai hati untuk berlarut-larut, Teta tak sekuat orang biasa, fisik dan psikisnya tak cukup kuat menampung beban-beban. Saya mengajak Teta segera pulang ke Padang, namun karena didera penyakit yang cukup parah sebelumnya, imunnya sudah kacau, rapid tes pasti tak akan lolos. Jika pulang dengan bus, kami tak berani mengingat kondisinya yang sekarang. Teta langsung masuk angin, muntah-muntah begitu mendengar kabar Apa. Melihat air mata terus mengalir dan mukanya yang sembab, saya memilih menahan diri untuk tak begitu sering menangis di depannya. Muka rasanya sudah bengkak. Malam itu saya “merengek” pada Ama, apakah saya boleh pulang sendiri. Ama justru marah dan melarang kami berdua untuk pulang. Saya juga tak mau menjadi egois dengan memikirkan diri sendiri dan meninggalkan Teta sendiri di Jogja. Meski ada suami dan anak, tetap saja Teta tak bisa bebas cerita apa saja tentang Apa, karena bagaimanapun kami lah yang lebih paham gimana Apa semasa hidupnya.

Siang setelah salat Jumat, Apa dimakamkan di liang yang sama dengan Alm Uni Risna di pemakaman umum Tunggul Hitam, Padang. Dari subuh, saya tak bisa menahan air mata. Rasanya susah untuk menerima tidak bisa hadir di dekat Apa dan mengantarkannya untuk terakhir kali. Siang itu sewaktu Apa dimandikan, perut saya panas, asam lambung yang baru saja saya derita beberapa hari sebelumnya mulai ngamuk lagi. Siang itu setelah Apa disalatkan dan kami juga selesai salat ghaib serta yasinan, teman-teman Teta datang, dan cukup mengalihkan perhatian saya. Entah kebiasaan saya yang seringkali menahan ego di depan orang lain, hingga tak sekalipun saya meneteskan air mata. Justru saya menemani ngobrol teman-teman Teta yang sebagian besar juga sudah dikenal sebelumnya. Begitu juga ketika teman-teman saya datang atau menanyakan kabar dan menelepon, saya bisa baik-baik saya menjawab. Cukuplah kehilangan ini saya simpan ketika sendiri.

Setahun terakhir saya sudah menyiapkan diri akan kepergian Apa. Terakhir pulang ke Padang, Desember 2019, saya sudah merasakan itulah pertemuan terakhir kami. Saya tak tahan melihat Apa yang sudah semakin sepuh, tenaganya melemah, dan wajahnya kuyu. Namun yang paling berbeda dari Apa adalah ia lebih banyak senyum, bercanda, mulai bisa mengekspresikan sayangnya pada Ama, anak-anak, dan cucunya. Kaki Apa sudah tak lagi kuat jalan lama, hingga lebih sering duduk. Melihat Apa yang tak banyak kegiatan, saya selalu mengajak Apa dan adik-adik main kartu Remi. Apa lah yang dulu mengajarkan kami segala permainan; Remi, Catur, Halma, dll. Permainan itu selalu kami mainkan ketika bulan puasa tiba. Karena di rumah ramai, ada kakak, adik, dan keponakan, kami selalu cukup orang untuk main Remi. Bahkan rebutan untuk mendapat kursi. Apa orang yang sangat kompetitif, untuk main itu saja ia tak mau kalah. Haha. Ia tetap menjadi pemenangnya. Semangat Apa mulai naik ketika main, ia tertantang untuk memenangkan permainan meski lawannya adalah anak dan cucu-cucunya sendiri. Saya justru senang melihat Apa yang tak kehilangan semangat untuk main dan makan. Hehe.

Sejak meninggalkan Padang akhir tahun itu, saya selalu menyiapkan diri untuk hari ini. Terlebih ketika pandemik datang, saya semakin cemas karena itu artinya saya dan Teta belum tentu bisa pulang sewaktu-waktu ketika terjadi hal seperti ini. Berbulan-bulan di malam-malam overthinking saya kepikiran Apa. Beberapa kali Apa masuk IGD, sesering itu juga saya khawatir, dan degdegan. Namun, kamis kemarin saya masih tetap yakin kalau Apa masuk IGD hanya sebentar saja seperti dua hari sebelumnya. Rabu malam saya masih videocall dengan Ama, dan menanyakan mana Apa ganteng Inda? Dan beberapa bulan terakhir kalau videocall dengan orang rumah, Apa selalu menanyakan “mana Linda, Apa mau lihat”. Dan saya selalu bilang “Kok makin ganteng aja Apa Inda?” Beliau lalu senyum-senyum malu. Saya cukup senang menggoda Apa, agar beliau punya ekspresi yang lain selain ekspresinya yang datar. Hehe.

Ternyata, meski kita sudah menyiapkan mental sedemikian rupa akan kehilangan, kepergian orang yang tercinta untuk selama-lamanya memang tak mudah. Walaupun saya sudah belajar dari kepergian teman-teman dekat, ataupun kepergian Uni, tetap saja hati manusia itu begitu rapuh. Saya tak bisa cerita kepada semua teman-teman secara langsung mengapa saya tak bisa pulang, dan apa penyebab Apa berpulang. Semoga tulisan ini bisa membantu. Terimakasih atas doa-doa yang kalian panjatkan, semoga jalan Apa terang dan dimudahkan, seperti halnya kepergian Apa yang cepat dan dalam keadaan tidur tanpa erangan sakit sama sekali. Dari ruang IGD, dipindahkan ke isolasi jantung, Apa tidur terus, hingga setelah nafas tak ada lagi, Apa masih kelihatan seperti orang tidur. Saudara-saudara yang menandu Apa juga mengatakan keranda Apa ringan. Padahal Apa itu gemuk di saat sepuhnya. Husnul Khotimah, InsyaAllah. Amin ya Allah. Kami sekeluarga ikhlas dengan jalan nasib kami dan Apa. Apa udah gak sakit lagi, udah senang karena bisa berkumpul dengan anak dan saudaranya yang lain. Semoga ya nanti begitu ketemu dengan orangtua dan Kangmas dan Mbakyunya mereka bisa ngobrol, soalnya Apa gak mengerti jika orang ngomong bahasa Jawa banyak-banyak. Huhu.