Ini bulan Agustus. Bulan favoritku dari semua bulan. Di bulan ini aku lahir, tepat satu hari setelah hari kemerdekaan bangsa ini. Di bulan ini juga terkadang begitu banyak hadiah dari semesta tercurahkan. Benar saja. Agustus ini aku mendapatkan banyak sekali kebahagiaan dalam kehidupan. Menyadari betapa angka kelahiran yang begitu besar, tapi semangatku tak kunjung tua adalah salah satu hal yang paling membahagiakan. Meski fisikku terasa semakin menurun, tapi itu nanti lah kita bahas.

Di bulan ini juga mahasiswaku Yudisium. Mereka sudah lulus dari ujian masa-masa menjadi mahasiswa S1, untuk kemudian akan memulai menapaki perjalanan barunya memasuki hidup yang sedemikian rupa. Mereka memasuki hidup dengan langkah dan semangat baru. Mereka setidaknya ku lepas dengan kebahagiaan penuh. Merekalah angkatan yang menemani langkah pertama ku untuk menjadi seorang akademisi.

Dua tahun penuh rasanya sudah membersamai mereka. Menjalankan projek-projek bersama dan berlarian di antara banyaknya kegiatan yang entah kenapa selalu saja memenuhi hari-hari kami. Tuhan baik! Telah mengirim anak-anak baik yang selalu sedia membantu dan membersamai hari-hari kami. Meski sama-sama sulit, tapi kami tetap bertahan dan maju terus untuk melangkah ke depan.

Selangkah demi selangkah kami hadang yang namanya masalah dan keragu-raguan.

Rasanya bertemu dan ngobrol dengan mahasiswa secara akademis, mengobati banyak hal. Menggelisahkan tetapi membuat semangat dan api yang sudah hampir padam di diriku bisa berkobar lagi.

Belum pernah melahirkan manusia dari rahim sendiri, tetapi dengan mereka, keibuan naluriah diri terasa bangkit sedemikian rupa. Ingin berdiri di tengah dan ingin juga menjadi orang dewasa yang bijak adalah dilemanya profesi ini. Karena kajian budaya telah mengajarkanku untuk berpihak semenjak dini mungkin.

Agustus ini juga aku merelakan bagaimana rasa kesal diikuti terus menerus oleh mantan, ku larung bersama masa lalu yang sudah sejak beberapa tahun lalu sudah terbang bersama angin.

Selama ini aku merasa kesal, sebal dan marah karena dia selalu membayangi ke mana aku pergi. Semua media sosial yang sudah aku blokir, selalu ada saja caranya untuk “menemui” lagi. Tidakkah cukup untuk hidup sendiri saja dengan kehidupan masing-masing? Mengapa masih mengganggu dan terus menerus menghubungi?

Aku sempat ketakutan, merasa kesal terus menerus karena serasa diamati, dikuntit, tapi setelah ulang tahun kemarin, rasanya uwis lah. Urusanmu untuk terus seperti itu. Urusanmu untuk merusak diri sendiri terus menerus. Karena urusanku sudah selesai dengan masa lalu yang sudah membeku di belakang waktu.

Terlebih setelah melihat mahasiswa yang lulus, menghadapi hidup baru, dan melepas masa mahasiswanya. Ku pikir hidup memang seperti itu. Siklusnya memang harus selalu ke depan. Terus dan terus melaju ke depan. Hal-hal yang di belakang, memang lah tempatnya di belakang sana. Ia adalah artefak dan menjadi pelajaran untuk maju ke depan, bukan untuk diingat-ingat terus. Terlebih menganggu masa kini dan masa depan.

Terimakasih, Tuhan. Hidupku seru sekali. Tak lagi aku menyangsikan rencanaMu. Aku tau pasti, perjalanan ini sudah berat, dan pasti akan selalu ada kebahagiaan-kebahagiaan yang terselip di antaranya. Nikmat mana lagi yang akan ku dustakan?